CINCIN CAHAYA
PENYAIR YANG
BERJALAN DAN MENCARI
Oleh Muhammad
Rois Rinaldi

Agama, filsafat, sains, dan sastra selalu
berkaitan dengan perjalanan. Sebagaimana perjalanan para Nabi dari satu wilayah
ke wilayah yang lain untuk menyampaikan agama dan kebenaran. Begitu pula dengan
filsafat, tidak dapat dipelajari melalui buku-buku belaka, harus melakukan
perjalanan dan perjalanan itulah yang melahirkan seorang filsuf. Bukan
buku-buku tebal atau pelajaran filsafat di bangku-bangku kuliah. Lebih
khususnya dalam ilmu tasawuf kita diperkenalkan dengan empat tahapan umum:
Syariat-Tarekat-Hakikat-Ma'rifat. Tidak terkecuali bagi dunia sains—yang konon
pasti itu—juga ditemukan dari perjalanan. Seorang Newton, menemukan teori gravitasi bumi dari sebuah perjalanan, saat ia belajar
di taman dan melihat apel terjatuh. Karya sastra juga dilahirkan dari sebuah
perjalanan bukan tempat terakhir, semacam TPU (Tempat Penguburan Umum). Sebelum
akhirnya karya sastra yang diciptakan dapat menjadi jalan itu sendiri,
sebagaimana—walau tidak satu maqam—agama, filsafat, dan sains.
Cincin Cahaya karya penyair muda asal Demak, Jawa
Tengah, Arafat AHC menunjukkan sebuah potret perjalanan sebagaimana dipaparkan
di muka. Sebuah naskah puisi yang kaya dengan pengalaman batin, lengkap
dengan pertempuran-pertempuran eksistensial dirinya sebagai manusia di tengah
manusia, manusia di tengah alam semesta, dan manusia di hadapan sang Khaliq.
Gegar budaya antara modernisasi dan lokalitas serta keluhuran tradisi juga
menjadi bagian penting di dalamnya. Persinggungan-persinggungan keyakinan yang
marak di abad 202 ini tidak luput diketengahkan. Arafat benar-benar berusaha
menghadirkan setiap lekuk kehidupan yang ia dapati dalam perjalanan.
Tidaklah mengherankan Arafat sanggup
menyuguhkan banyak menu perjalanan, karena ia seorang penyair yang pejalan. Ia
gemar melakukan perjalanan jauh dari kota ke kota dari satu tempat ke tempat
yang lainnya. Ia pernah melakukan perjalanan keliling Banten dengan sepeda
motornya. Jarak antara Banten dan Jawa Tengah yang menghabiskan waktu 16 jam
perjalanan tidaklah jadi soal baginya. Ia juga terbiasa keliling Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Tidak ada yang tahu secara persis, mengapa
atau untuk apa Arafat begitu gemar melakukan perjalanan. Dan menurut kabar, ia
akan melakukan perjalanan keliling pulau Jawa dan Sumatera dengan menggunakan
sepeda motor pada tahun 2016 mendatang. Sebuah itikad yang entah akan dikatakan
sebagai itikad baik atau itikad konyol, mengingat kemungkinan baik atau konyol
tergantung niat yang bersangkutan. Sayangnya, niat ada di dalam hati, tidak
dapat dibaca. Terkecuali Arafat menulis atau memberitahu ihwal ritus
perjalanannya tersebut.
Sebenarnya seberapa penting perjalanan
badan seorang penyair bagi perkembangan karyanya? Seorang penyair yang kerap
melakukan perjalanan badan akan menemukan berbagai hal benar-benar hidup. Dan
yang perlu ditekankan, perjalanan badan seorang manusia (termasuk manusia yang
penyair di dalamnya) mengikutsertakan batinnya. Badan dan batin secara
bersamaan atau tidak akan menemukan: mengamati keadaan dari dekat, turut dalam
keadaan yang beragam, merasakan dan mengilhami alam dengan segenap sifatnya,
menemukan hal-hal baru, menerima dan memberi persoalan, membaca tanda dan
menjadi bagian dari tanda-tanda. Itulah ritus, penyair bukan mereka yang selalu
mengurung diri di kamar, melainkan yang menyatu dan menyata dalam hidup,
kehidupan, dan penghidupan. Karena dengan demikian, karya-karyanya jauh lebih
berbicara dan punya pijakan pada tanah yang bernama bumi, tidak selalu
melayang-layang di nirwana yang entah letaknya. Tidak selalu
menerka-nerka tanda dari balik jendela atau sembunyi di balik pintu rumah.
Penyair adalah pejalan abadi yang tidak pernah bertanya kapan dan di mana ia
akan dihentikan.
Melalui perjalanan penyair akan
keluar dari belenggu yang menjerat banyak manusia, keadaan trance dan stoned. Di mana seorang penyair memaqamkan
karya dan dirinya sendiri di maqam yang tidak ditempati oleh selain penyair.
Tidak selalu perlu ditemukan pijakan teorinya atau alasan-alasan logika yang
konon akan selalu dipertanyakan oleh pembaca. Trance dan stoned bagi penyair adalah maqam yang
berpendar kesadaran, termasuk kesadaran mengenai hakikat keberadaan diri,
sebagaimana puisi Arafat begikut ini:
Bisik Pawon
tiap dzikir asap
yang kepul dari dalam
lubang napas ilahi:
kayu dan api yang kawin
tanda aku ada
Kariadi, Dzulqo’dah 1435
Penghayatan dari kejadian yang menurut
kebanyakan orang biasa saja, bahkan tidak penting menjadi tidak biasa bagi
seorang penyair. Kata “pawon” atau dalam bahasa Indonesia “dapur”
dijadikan simbol untuk memahami eksistensi manusia di kehidupan. Asap yang
mengepul dari dapur ke sela-sela genting dan terlepas ke udara luas serta kayu
yang bersatu dengan api dimaknai sebagai keberadaan dirinya. Kayu, api, abu, tungku, asap, dan angin menjadi simbol penting untuk
menemukan maksud dari puisi tersebut. “tanda aku ada” sebagai larik penutup
menukikkan pada maksud simbol-simbol yang berbisik. Mengapa berbisik? Karena
apapun tanda di alam semesta ini selalu berbisik, hanya telinga jiwa yang peka
yang dapat mendengarnya.
Kayu, api, abu, tungku, asap, dan angin memang bukan kata baru dalam dunia
puisi, ianya sudah banyak ditulis oleh penyair terdahulu, terutama
penyair-penyair Timur Tengah yang kemudian diadaptasi oleh penyair Indonesia,
misalkan oleh Chairil Anwar “Lagu Siul”, Sapardi Djoko Damono melalui “Aku Ingin”,
dan W.S Rendra dalam “Kangen”. Meski demikian, yang ditulis Arafat boleh
dikatakan menawarkan pandangan baru dari segi pengolahan wujud dan maujudnya
kata. Perlu juga dicatat, sekalipun melalui pendekatan interteks ditemukan
kedekatan atau sebut kemiripan, bukan berarti memang disengaja oleh penyairnya.
Karena pada dasarnya, manusia yang memiliki keunikan juga memiliki kesamaan
yang relatif. Terlebih jika dilatari oleh agama, budaya, sosial, dan politik
yang sama. Dalam hal ini saya tidak merinci sebab bukan pembahasan khusus
interteks. Yang pasti, Arafat tetap menawarkan keunikan dari perjalanannya
sebagai manusia yang penyair dan semoga ia juga termasuk penyair yang manusia.
Pada “Bisik Pawon” Arafat tampak menemukan
sesuatu, yaitu kesadaran. Pada puisi-puisinya yang lain, tidak sedikit yang
menunjukkan penemuan pula. Dikarenakan mencari adalah fitrah dan menemu adalah
keniscayaan bagi manusia. Dalam pencarian banyak temuan yang tidak terduga.
Misal Hukum Archimedes, ditemukan ketika di kamar mandi, saat Archimedes
berpikir keras untuk menyelesaikan tugasnya mengukur volume mahkota Raja
Sisilia yang terbuat dari emas murni. Bagaimana dengan pencarian dan penemuan
Arafat? Mari memahaminya dalam puisi berikut ini:
Bunga
Teratai
bersama garis lintang
jatuhlah ke dalam
nestapa yang warna
—gelap yang senyap
riuh yang redup
di balik pintu berdaun
cahaya adalah
keniscayaan
matamu
bunga
teratai semerbak di sana….
Menara Bubar, Shaffar 1433
Jika Archimedes menemukan sesuatu dalam
bak mandi, Arafat menemukan sesuatu di bunga teratai. Penemuan ilmuwan dan
penyair tentu berbeda, ilmuwan menemukan hukum pasti yang dapat dijadikan
rujukan bagi menentukan perhitungan sedang penyair menemukan hukum kemungkinan
sampai pada tingkat penyetabilan paham, untuk dijadikan bahan perenungan bahkan
kembali pada pencarian itu sendiri. “bersama garis lintang” adalah garis langit yang menjadi tolok
ukur manusia di bumi, jatuh ke kedalaman nestapa—“nestapa yang warna”. Bangunan
yang manis dan gagah. “Keniscayaan” adalah satu hal yang kemudian ditawarkan
sebelum puisi menukik pada “bunga teratai”, sebuah isyarat tentang akhir dari
sebuah pencarian.
Dan masih banyak lagi puisinya yang
dilahirkan dari perjalanan panjang nan jauh, di antaranya “Riwayat Suatu Malam”, “Hanya Malam yang Menghimpit Pelipih”, “Sebab Hidup Perihal Memilih”, “Adalah Aku”, “Tak Menggubris Jalur”, dan “Kalam Cinta”. Puisi-puisi yang dapat menambah wawasan
akal dan batin manusia. Tentu saja para pembaca mesti berpikir kritis, tidak
menelan mentah-mentah tidak juga menolak mentah-mentah. Proses pembacaan harus
dilakukan dengan bersahaja, agar menemukan sesuatu yang juga bersahaja.
Sebagaimana kesahajaan puisi Arafat berikut ini:
Riwayat Suatu Malam
peraduan lagi,
tentang yang tak kunjung tampak
menebar
pilu di lesung daun pintu
Pondok Janggalan, Rabi’ul Awwal 1433
II/
Gaya yang dipakai Arafat terbilang
beragam, antara konvensi dan inovasi tampak tarik menarik, kadang konvensi
harus rela mengalah dalam puisi-puisinya. Hal ini wajar saja dalam dunia
kepenyairan, karena sistem bahasa dan sistem kemaknaan bergerak sejalan dengan
pergerakan manusia. Adapun kesepatakan-kesepakatan akan datang di kemudian hari
lengkap dengan pertentangan-pertenatangannya. Dengan kata lain, sistem
kemaknaan dalam lingkup bahasa memiliki gerak yang fleksibel yang memberikan
banyak kemungkinan bagi perubahan dan pergeseran-pergeserannya.
Dalam sejarah kesusastraan
Indonesia—terlepas ianya terus diperdebatkan—banyak sastrawan (dalam hal ini
penyair) yang berusaha mati-matian membuat inovasi atau melakukan eksperimen
bahasa. Di antranya Taufik Ismail melalui puisi “Trem Berkelenang di Kota
Francisco”: “… /Selamat jalan c/Selamat jalan v/Selamat jalan x/Selamat
jalan.”. Sutardji Calzoum Bachri yang membuat inovasi paling berani atau sebut
saja paling brutal, terutama dalam puisi “Tragedi
Winka & Sihka”: “…/kawin/kawin/kawin/kawin/kawin/ka/win/ka / win /ka/win/ka/win/ka/…”. Dan Arafat rupanya berupaya juga untuk
melakukan inovasi, sebagaimana dalam puisi berikut ini:
Sketsa Nada
: Syech bin
Abdul Qodir AsSaqof
allahuya
gemericik lonceng
berdenting mengurai nestapa
allahuya
allahuya
ada sesuatu di balik pintu
nada yang bersiul
allahuya
da’uni, da’uni
Jl. KHR. Asnawi, Rabi’ul Awwal 1433
Gaya ekspresionis semacam ini, rupanya
ingin melepaskan diri dari pemaknaan kata perkata. Karena tidak ditemukan apa
maksud lonceng yang berdenting mengurai nestapa itu dan apa pula yang berada si
balik pintu yang melahirkan nada, siulan. Meski demikian, belumlah brutal,
karena masih dapat dirunut maksud dan pesan yang ingin disampaikan, terutama
jika melihat nama Syech bin
Abdul Qodir AsSaqof (Syech bin Abdul Qodir
Assegaf, yang dimaksud?) sebagai orang yang dituju melalui
puisi. Juga kata “da’uni” dari qasidah bahasa arab yang berarti
“tinggalkan aku sendiri”.
Keduanya dapat dicari, di mana benang
merahnya. Jika dilihat secara umum, ada sebuah sketsa ruang rasa yang paradoks
pada tiga bait pertama dan ironi pada tiga bait terakhir. Dengan kata lain,
puisi Arafat tidak sampai pada tahap nonsense yang secara linguistic sulit
ditemukan artinya, sebagaimana dalam puisi “Tragedi Winka & Sihka”.
Pembangkangan konvensi yang dilakukan
Arafat hanya sampai pada ketidaktaatannya pada kelaziman penulisan. Di
antaranya tidak menggunakan huruf sesuai kaidah, tidak menggunakan huruf miring
pada kata-kata asing, dan tanda baca yang nyaris tidak ada. Selain
“Sketsa Nada” kiranya puisi berikut ini juga berusaha mendobrak kelaziman atau
konvensi:
Dialog Tanda Baca
titik
titik?
koma, ya?
titik
bagaimana kalau
titik dua?
titik.
titik dan koma
bagaimana?
titik!
dan koma,
oke?
koma?
titik!
Ngaliyan,
Rabi’ul Akhir 1433
Masih banyak ragam yang layak dijadikan
pandangan dalam puisi-puisi Arafat yang sangat lekat aroma perjalanan dan
pencariannya semisal puisi-puisi kecil yang subtil, puisi-puisi protes sosial,
dan lain sebagainya. Sayangnya, saya harus sadar ruang. sebagai penutup saya
ingin menyatakan bahwa yang paling tidak saya sukai atau sebut saja tidak
menarik dari segenap puisi Arafat adalah puisi-puisi asmaranya. Bukan lantaran
Arafat tidak cerdas dalam persoalan asmara, tapi ia memang tidak cocok membicarakan
hal remeh temeh seperti itu. Seorang pejalan dalam memandang cinta mestinya
lebih luas dan matang.
Kramatwatu, Serang, Banten, Maret 2015
Comments :
Post a Comment