MENJEMPUT CAHAYA, FRAGMEN KELAHIRAN
Oleh Muhammad Rois Rinaldi

Saya percaya karya penyair muda pada keadaan tertentu benar-benar
sanggup memotret kehidupan atau menjadikan kehidupan yang sebegitu kompleks
sebagai miniature. Dari sana kita dapat melihat, memperhatikan, menelaah,
bahkan menandai dari berbagai sudut dengan leluasa—seluas-luasnya. Begitu pula
pesan saya kepada Jamil Abdu Aziz
sebelum ia melahirkan antologi tunggalnya yang diberi tajuk “Menjemput
Cahaya”. Pemuda kelahiran Bandung 21 tahun silam ini menerbitkan puisi dalam
bentuk yang tidak sama dengan kebanyakan. Terdiri dari 84 halaman dengan satu
judul tunggal dipecah menjadi 6 serpihan. ‘serpihan’ di sini sebagai alih-alih
penamaan lain dari anak judul. Dapat dibayangkan, satu judul “Menjemput Cahaya”
yang menghabiska 84 halaman hanya dipecah oleh 6 anak judul. Tentu puisi Jamil
terbilang puisi panjang—sangat panjang, bahkan.
Mengingat bentuk puisinya yang tidak sama dengan kebanyakan, akan
muncul pertanyaan mengenai jenis puisi yang Jamil suguhkan.
Pertanyaan-pertanyaa itu bukan urusan penulis, biar saja pembaca yang
menspesifikasikan. Sayangnya, Jamil tergesa-gesa mengatakan bahwa karyanya berjenis puisi-prosa. Hal itu diungkapkan dalam prakata yang ditulisnya sendiri. Sehingga tidak heran jika Yatim Ahmad (Penyair dan Redaksi Koran Sabah Malaysia) mengatakan bahwa puisi Jamil memiliki kemiripan dengan Denny JA yang beberapa waktu lalu menciptakan ruang uforia melalui lomba-lomba dengan hadiah yang menggiurkan dan menyerat belasan sastrawan turut larut dalam perangkap uangnya. Namun, pendapat itu juga terlalu ceroboh, sebab antologi puisi “Atas Nama Cinta” yang senada dengan judul lagu Rossa dalam sinetron Cinta Fitri itu, jauh jika dibandingkan dengan Menjemput Cahaya karya Jamil. Meski sama panjang, nuansa puitik di Menjemput Cahaya lebih mengena. Berbeda dengan Atas Nama Cinta, lebih condong ke arah cerita cerpen (kalau tidak boleh saya katakana cerpen yang dibuat seolah-olah puisi). Lihat saja bagaimana Denny JA menuangkan karyanya yang konon puisi:
Hantu yang
ditakutinya pun menjelma –
Didengarnya
suara-suara memekakkan telinga
Segerombolan orang
merusak pagar rumahnya
Mereka masuk dan
membunuh anjing herdernya.
Pembantunya sempat
berteriak, lalu terkapar
Oleh para berandal
itu ia dihajar.
Fang Yin lari
mengunci diri di dalam kamar
Berteriak, melolong,
meminta tolong.
Tak ada yang
mendengar. Mungkin tetangganya
Juga tengah
menghadapi ketakutan yang sama.
Pintu kamar Fang Yin
didobrak, masuklah lima pria
Bertubuh tegap – ke
ranjang mereka menyeretnya.
Rambutnya dijambak
Pakaiannya
dikoyak-moyak
Dan dengan kasar
Mereka pun memukul,
menampar.
Fang Yin pun
menjerit, mohon ampun,
Jangan…Jangan…
Saya punya uang.
Ampun. Jangan.
Bagaimana jika bait-bait di atas saya ubah menjadi paragraph? Akan
begini jadinya: hantu yang ditakutinya pun menjelma. Didengarnya suara-suara
memekakkan telinga. Segerombolan orang merusak pagar rumahnya. Mereka masuk dan
membunuh anjing herdernya. Pembantunya sempat berteriak, lalu terkapar oleh
para berandal itu ia dihajar. Fang Yin lari mengunci diri di dalam kamar
berteriak, melolong, meminta tolong.
Tak ada yang mendengar. Mungkin tetangganya juga tengah menghadapi
ketakutan yang sama. Pintu kamar Fang Yin didobrak, masuklah lima pria bertubuh
tegap – ke ranjang mereka menyeretnya. Rambutnya dijambak pakaiannya
dikoyak-moyak dan dengan kasar. Mereka pun memukul, menampar. Fang Yin pun
menjerit, mohon ampun, “jangan…jangan… saya punya uang. Ampun. Jangan.”
Jika sudah diubah begitu, matabaca saya menemukan nuansa cerpen.
Cerita pendek mengenai kejadian pemerkosaan di sebuah rumah. Perempuan itu
sendiri, tetangga tidak ada yang mendengar. Ya, perempuan itu diperkosa. Itu
saja! Bandingkan dengan remah karya Jamil yang saya ambil dari serpihan
4:
ibu; masih ingatkah
tentang
nyanyiannyanyian
yang telah lalu
ah, sudah
bertahuntahun
tapi rasanya masih
berembun
di ujung sungai kita
bertemu mata
setiap hari kita
mengulanginya
kaumencuci
dan aku mandi
membasuh raga
aku lihat
kautertawa bersama
kawankawanmu itu, bu
masih ingatkah bu?
sejujurnya
kaumemang bukan yang
paling cantik
di antara
perempuan-perempuan yang sering kulihat
waktu itu
tapi aku menyukaimu
karena engkau begitu
sederhana; bu
aku bisa merasakan
dari senyumsenyum yang kau
simpulkan; tak ada
aroma kegenitan
Mari melakukan tindakan yang serupa sebagaimana karya Denny JA:
Ibu; masih ingatkah tentang nyanyian-nyanyian yang telah lalu. Ah,
sudah bertahun-tahun tapi rasanya masih berembun. Di ujung sungai kita bertemu
mata. Setiap hari kita mengulanginya. Kaumencuci dan aku mandi membasuh raga.
Aku lihat. Kautertawa bersama kawan-kawanmu itu, bu. Masih ingatkah bu?
Sejujurnya kaumemang bukan yang paling cantik di antara
perempuan-perempuan yang sering kulihat waktu itu. Tapi aku menyukaimu karena
engkau begitu sederhana; bu. Aku bisa merasakan dari senyum-senyum yang
kausimpulkan; tak ada aroma kegenitan.
Jelas terasa berbeda, Jamil lebih sanggup menunjukkan gendre
puisinya meski sama panjang bukan berarti sama jenis. Ini benar-benar puisi.
Ada musikalitas dari bunyi-bunyi yang tercipta di dalamnya. Ada juga
majas aliterasi atau resonansi “bertah(un)tah(un) tapi rasanya masih
beremb(un). Selain itu dapat dilihat dari bobot pesan yang dibawa oleh kedua
teks tersebut. Denny JA selesai pada persoalan pemerkosaan. Sedangkan Jamil
memberikan pesan mengenai ketulusan ibu yang tak berbedak juga bergincu. Tidak
centil. Sederhana saja. Tetapi keindahannya tiada tara. Juga sebenarnya
diksi-diksi yang ditawarkan Jamil tidak berbunga metafora, sehingga selaras dengan
kesederhanaan yang dimaksud tanpa mengurangi ruang pemaknaan dan mengurangi
laju pesan yang ingin disampaikan. Lantas jika bukan apakah jenis puisinya,
ballada kah? Saya tidak tertarik menamai jenis puisi ini atau itu, biarlah
antologi puisi ini saya anggap sebagai karya Jamil seutuhnya tanpa embel-embel
penamaan. Sejalan dengan pendapat A. Teeuw yang menyatakan bahwa menulis
seringkali adalah menulis kembali dengan varian-varian yang terserah pada
pengarang, dan yang penilaiannya terserah pada pendengar atau pembaca.
Secara umum, antologi yang diterbitkan Javakarsa Media, Yogyakarta
Mei 2013 lalu ini menyoroti kehidupan manusia yang tidak begitu beruntung dalam
hal materi (tentu masih dapat dipercaya, meteri bukan penentu kebahagiaan). Menyikapi masyarakat urban yang menjadi garis besar
“Menjemput Cahaya” gejala-gejala sosial yang lahir dan tumbuh hari ini adalah
ketimpangan sosial. Sebenarnya hal ini bersifat gradual, cukup sulit memilah
ruang-ruang mana yang mengalami ketimpangan sosial dan ruang mana yang merata.
Yang mungkin diperhatikan adalah mengenai urbanisme itu sendiri. Pada umumnya
mulai beralihnya pola hubungan masyarakat sosial pada azaz berkepentingan—siapa
punya kepentingan di sanalah terjadi komunikasi antarkomunikator. Tidak lagi
berbicara tentang kepribadian, di mana masih dijunjung untuk saling mengunjungi
walau sekadar ngopi, saling membantu, dan hal-hal manusiawi lainnya.
Menjemput Cahaya sejalan dengan konsep yang selalu saya yakini:
“Puisi hari ini ditulis sebagai kesaksian sang penyair dan di hari depan
menjadi bukti sejarah keberedaan manusia, lengkap dengan aksen sebab akibat.
Sehingga puisi tak lagi dianggap benda mati”. Konsepsi puisi sebagai agen
sosial, agen kontrol, dan agen perubahan tentu saja layak untuk diterapkan.
Dengan demikian, terciptalah ruang-ruang kata—ruang-ruang sastra yang tak
semata bicara keindahan lalu selesai sampai di sana. Melainkan sudah masuk pada
ranah kehidupan yang senyata-nyatanya: Mengenali mana tanah tempat menanam dan
memahami unsur-unsur paling membumi, mana sungai tempat mencuci, mandi, gosok
gigi, lalu belajar bagaimana ia mengalir menemukan muara, mana api untuk
menyalakan lampu minyak sembari belajar mengenali sifat panas juga cahaya, dan
mana udara untuk mengenali apa itu napas, menghela atau menghembus.
Kelahiran Menjemput Cahaya yang barangkali boleh diartikan sebagai
kelahiran Jamil sebagai penyair muda berbakat layak disambut gembira. Sebagaimana
Dimas Indiana Senja yang melahirkan Nadhom Cinta, Asqanali Eneste yang agresif
menawarkan Abusia, Ekohm Abiyasa yang malu-malu menyuguhkan Segelas Kopi Sunyi,
Windu Mandela yang diam-diam menciptakan Peniti, dan banyak lagi: inilah karya
yang lahir masa kini. Barangkali demikian, antologi puisi “Menjemput Cahaya”
Karya Jamil Abdul Aziz ini juga mengembalikan kepercayaan saya, bahwa yang muda
tak harus bicara romantika dan kasmaran belaka. ***
Dimuat di tabloid Ruang Rekonstruksi, edisi Januari 2014
Dimuat di tabloid Ruang Rekonstruksi, edisi Januari 2014
Comments :
Post a Comment